Tujuan Penciptaan Manusia
Dalam karya monumentalnya,
Futuhat al-Makkiyah, Ibn Arabi menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia agar
diri-Nya dikenal. Dia mendasarkan keyakinannya itu pada ayat Al-Quran, Aku telah menciptakan manusia dan jin hanya
agar mereka menghamba kepada-Ku. (al-Dzariyat [51] :56)
Mufasir besar Ibn ‘Abbas memaknai menghamba sebagai mengenal. Menurutnya, tujuan wujud manusia adlah mengenal Allah.
Allah telah menciptakan segala
sesuatu dalam tatanan yang sempurna, dengan menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, dan juga menghubungkan segala sesuatu dengan diri-Nya.Dia
telah mengejawantahkan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya, dan mengatur
tindakan-tindakan segala sesuatu dalam hubungannya dengan sifat-sifat Ilahi
yang dianugrahkan kepadanya. Dengan mengatakan melalui Nabi-Nya, Allah berkata,
“Aku adalah kekayaan tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, dan dengan cinta
inilah Aku ciptakan mahluk.”Allah telah memuliakan umat manusia, makhluk-Nya
yang tertinggi, dengan menjadi sarana untuk mengenal-Nya.
Sebagaimana Zat Allah tidak bisa
dibandingkan dengan-dan berbeda dari- makhluk-Nya, demikianlah umat manuasia
tidak memiliki padanan dalam makhluk sebagai sebuah manifestasi dari seluruh
nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang indah. Allah Maha sempurna dan telah
menciptakan umat manusia dengan sempurna. Umat manusia mengandung seluruh
kemampuan yang niscaya untuk mencapai keadaan yang sempurna.Sebagaimana Allah
tidak membutuhkan apapun, Dia telah menciptakan manusia tidak membutuhkan
apapun selain-Nya.Jadi, Allah membuat manusia mengenal-Nya, dan manusia mampu
mengenal kebenaran dan menemukan kesempurnaan.
Makna praktis menghamba (beribadah) dalam ayat diatas adalah merendahkan diri,
memfanakan diri di hadapan Tuhan. Hasilnya adalah hubungan yang sadar antara
makhluk da Khalik, antara ciptaan dan Sang Pencipta. Ia merupakan cara mendekat
kepada-Nya dan mengenal-Nya. Tuhan berfirman, “Berdoalah kepadaku, akan Aku Kabulkan doa-doamu.”
Dalam ayat yang sama, tidak hanya
disebutkan manusia, melainkan juga jin. Sebab, diantara seluruh makhluk hanya
manusia dan jinlah yang dengan pongah, mengaku sebagai Tuhan, atas mereka
sendiri dan setiap sesuatu yang ada. Selain jin dan manusia, tiada makhluk yang
diberi kemungkinan memiliki dan mewarisi; tidak ada yang memanggil yang lain
dari jenisnya sendiri sebagai hambanya. Kecuali jin dan manusia, di dunia ini
tidak ada yang mengaku memiliki hidup, kekuasaaan, dan kehendak – sifat-sifat
Maha hidup, Mahakuasa, Maha berkehendak hanya milik Allah.
Kemungkinan adanya pengakuan ini
merupakan makna dari “Allah telah
menciptakan manusia dalam citra (shurah)-Nya sendiri.” Manifestasinya
sifat-sifat Ilahi pada manusia ini, yang kerap disalahgunakan olehnya, adalah
juga hubungan dan kaitan antara dia dan Tuhanya, dan suatu cara baginya untuk
mengenal Tuhannya.
Karena manusia cenderung keras
kepala dan pongah, maka menghamba (beribadah)
harus ditandai kerendahan diri sebelum ia bisa menunjukan pengetahuan Tuhan.
Karena, seluruh pengetahuan yang bisa dicapai umat manusia dengan akal yang
dianugrahkan kepadanya tidak ada artinya di hadapan keagungan Allah yang tak
terbatas. Kita harus menundukkan kepala kita dalam menyadari kenyataaan ini.
Hanya dengan rendah hati sepenuhnya kita akan mampu mengeatahui tujuan
penciptaan kita. Tapi juga benar bahwa siapa yang tidak mengenal Tuhannya, ia
tdak mampu memfanakan dirinya ditahap pertama!
Bagaimana Mengenal Allah
Sang Pencipta hanya bisa dikenal
melalui makhluk-Nya. Segala sesuatu merupakan bukti keberadaan-Nya. Tanpa
mengenal hakikat atas hakikat, tidaklah mungkin untuk mengenal Allah.
Ibn Sina, seorang tokoh semasa
dengan Ibn Arabi, menayatakan bahwa Allah bisa ditemukan melalui pemikiran
rasional yang terlepas dari pengetahuan atas makhluk-Nya. Ibn Arabi mengatakan
bahwa manifestasi Allah terjadi pada makhluk-Nya dan tidaklah mungkin mengenal-Nya
selain darinya.
Penciptaan ini terjadi terus menerus
dalam alam semesta. Setiap peristiwa penciptaan berbeda, tidak diulangi.Prosesi
tak terbatas atas keunikan itu merupakan bukti atas kekuasaan Tuhan yang tak
terbatas. Setiap tindakan baru adalah sekeping cermin tempat sifat-sifat Tuhan
mengejawantah, dan pada setiap keeping darinya ada pengetahuan baru dan khusus.
Inilah satu-satunya sumber terhadap pengetahuan Ilahi.
Jika kita melihat langit, kita
melihat tanda manifestasi sifat Allah “Maha Mencakup-Mahaluas”. Samudra yang
tampak tak terukur mengesankan sifat Ilahi “Maha Meliputi”. Jika kita
merenungkan kehidupan kita sendiri, dan semua yang hidup di sekitar kita, kita
akan mengerti makna “Allah Sang Mahatau”. Pada seorang dokter kita akan melihat
tanda-tanda “Allah Sang Maha Penyembuh”. Dan jika kita memperhatikan umat
manusia, kita akan melihat bukti “Allah Sang Mahatunggal.”
Damba manusia untuk mengenal Tuhan
bisa menarik kita untuk melihat manifetasi-manifetasi-Nya dalam setiap sesuatu
disekitar dan di dalam diri kita. Maka seluruh kehidupan dan alam semesta
menjadi sebuah buku yang mengajarkan tentang Tuhan, karena segala sesuatu yang
diciptakan taklain adalah manifestasi dari nama-nama indah Tuhan Yang Satu yang
menciptakannya.
Kita juga akan insaf akan hal-hal
yang saling berlawanan satu sama lain, yang saling bertentangan satu sama lain;
manifestasi sifat Ilahi “Sang Maha Menunjukkan” versus manifestasi “Sang Maha
Merintangi”.”Sang Mahabaik” versus “Sang Maha Menghalangi”. Pada beberapa momen penciptaan, salah satu
sifat ini lebih unggul; dan pada momen yang lain, sifat lainnya yang unggul.
Manakala “Sang Maha Menunjukkan” dan “Sang Mahabaik” lebih unggul kualitasnya
dan kuantitasnya, keadamaian dan kemakmuran menjadi dominan. Ketika keadaan itu
menurun, kesulitan dan rintangan mengejawantah, dan kepedihan dan kemiskinan
menjadi dominan. Hal ini bisa terjadi di pada diri manusia ataupun pada seluruh
dunia.
Dalam cara ini, suatu ciptaan dimana
kebaikan mengejawantah berada secara berlawanan dengan suatu ciptaan dimana
keburukan mengejawantah. Itulah mengapa orang yang berjalan menuju surga tidak
sama dengan orang yang berjalan menuju neraka, dan sebaliknya. Ada berbagai
binatang yang sifat-sifat baiknya lebih unggul dan ada pula binatang yang
sifat-sifatnya berbahaya mengejawantah. Sifat-sifat kedua jenis binatang ini
ada pada setiap manusia. Mereka yang dikuasai watak binatang liar jauh lebih
buruk dibandingkan binatang terburuk itu sendiri; sementara mereka yang
didominasi kebaikan diangkat ke tingkatan malaikat. Maulana Jalal al-Din Rumi
bertutur, “Wahai manusia, kamu bersekutu dengan binatang dalam dirimu, dan kamu
bersekutu dengan malaikat dalam dirimu. Tinggalkan watak binatangmu dibelakang
agar kamu bisa naik melampaui malaikat!”
Jadi, kita harus mengetahui
manifestasi sifat-sifat Ilahi dalam penciptaan terus menerus disekitar kita,
dan menemukan padanannya dalam watak kita sendiri- karena Allah telah
mengajarkan seluruh nama-Nya kepada kita. Jika melakukan hal ini, kita akan mengenal
Tuhan kita dalam kualitas-kualitas-Nya yang tak terbatas. Tapi, pada saat yang
sama, kala kita melihat keluasan dan kesempurnaan Sang Pencipta, kita akan
melihat kepingan dan kekurangan kualitas-kualitas yang mengejawantah dalam diri
kita. Kita pun akan menyadari kelemahan kita dan kebutuhan total kita
kepada-Nya. Itulah awal perwujudan manusia sebagai hamba dan Allah sebagai
Tuhan. Dan itulah tujuan penciptaan.
Dia yang Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya
Kebenaran
sifat-sifat, nama-nama indah Allah, tidaklah terbatas dan mengejawantah dalam
beragam cara pada berbagai waktu. Bukti kebenaran itu berada dalam perwujudan
kesatuan seluruh ciptaan. Namun, keragaman merupakan bagian dari yang satu.
Kesatuan mengejawantah dalam keanekaragaman. Dengan seluruh
perbedaan-perbedaannya, dan dalam manifestasi yang tak terbatas, bagian-bagian
yang saling terkait dan menuju keseluruhan. Siapapun yang bisa mengetahui hal
ini dalam dirinya, ia mengenal Tuhannya.
Allah menciptakan manusia sempurna
dalam citra-Nya sendiri- dalam citra sifat-sifat-Nya.
Banyak sufi percaya bahwa untuk bisa
mengenal kesatuan diri ini, kita harus melenyapkan manifestasi banyak “aku”
dalam diri kita-sebetulnya, kita harus menolak keberadaannya. Melalui ibadah,
puasa, perenungan , dan pengendalian hasrat-hasrat jasmaniah, manusia berusaha
menundukan kehendak-kehendaknya pada kehendah Allah, dan memurnikan tingkah
laku dan kebiasaan-kebiasaannya. Semua disiplin dan usaha inni dibangun diatas
asumsi bahwa beberapa “aku” yang sedang berusaha dilenyapkan ini betul-betul
ada. Padahal, tidak ada “aku” selain Allah. Tidak ada apapun kecuali Dia.
Bagaimana seseorang bisa mengatur untuk melenyapkan sesuatu yang tidak pernah
ada? Satu-satunya cara mengenal Tuhanmu adalah dengan mengenal keberadaanmu.
Manusia tak lain adalah cermin yang
memantulkan sifat-sifat Allah. Dialah Yang Satu yang melihat diri-Nya. Baik
para nabi, malaikat, maujpun manusia sempurna tidak bisa mengenal-Nya. Ketika
kita mengetahui ketidakadaan kita dan totalitas Allah, kita mencapai cakupan
seutuhnya dari pengetahuan kita Atas-Nya.
Sekian, dan terimakasih... semoga bermanfaat... ^.^
http://hanysundara88.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar