Selasa, 15 April 2014

Dimensi Spiritual Ibadah



Tujuan Penciptaan Manusia

            Dalam karya monumentalnya, Futuhat al-Makkiyah, Ibn Arabi menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia agar diri-Nya dikenal. Dia mendasarkan keyakinannya itu pada ayat Al-Quran, Aku telah menciptakan manusia dan jin hanya agar mereka menghamba kepada-Ku. (al-Dzariyat [51] :56)
            Mufasir besar Ibn ‘Abbas memaknai menghamba sebagai mengenal. Menurutnya, tujuan wujud manusia adlah mengenal Allah.
            Allah telah menciptakan segala sesuatu dalam tatanan yang sempurna, dengan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan juga menghubungkan segala sesuatu dengan diri-Nya.Dia telah mengejawantahkan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya, dan mengatur tindakan-tindakan segala sesuatu dalam hubungannya dengan sifat-sifat Ilahi yang dianugrahkan kepadanya. Dengan mengatakan melalui Nabi-Nya, Allah berkata, “Aku adalah kekayaan tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, dan dengan cinta inilah Aku ciptakan mahluk.”Allah telah memuliakan umat manusia, makhluk-Nya yang tertinggi, dengan menjadi sarana untuk mengenal-Nya.
            Sebagaimana Zat Allah tidak bisa dibandingkan dengan-dan berbeda dari- makhluk-Nya, demikianlah umat manuasia tidak memiliki padanan dalam makhluk sebagai sebuah manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang indah. Allah Maha sempurna dan telah menciptakan umat manusia dengan sempurna. Umat manusia mengandung seluruh kemampuan yang niscaya untuk mencapai keadaan yang sempurna.Sebagaimana Allah tidak membutuhkan apapun, Dia telah menciptakan manusia tidak membutuhkan apapun selain-Nya.Jadi, Allah membuat manusia mengenal-Nya, dan manusia mampu mengenal kebenaran dan menemukan kesempurnaan.
            Makna praktis menghamba (beribadah) dalam ayat diatas adalah merendahkan diri, memfanakan diri di hadapan Tuhan. Hasilnya adalah hubungan yang sadar antara makhluk da Khalik, antara ciptaan dan Sang Pencipta. Ia merupakan cara mendekat kepada-Nya dan mengenal-Nya. Tuhan berfirman, “Berdoalah kepadaku, akan Aku Kabulkan doa-doamu.”
            Dalam ayat yang sama, tidak hanya disebutkan manusia, melainkan juga jin. Sebab, diantara seluruh makhluk hanya manusia dan jinlah yang dengan pongah, mengaku sebagai Tuhan, atas mereka sendiri dan setiap sesuatu yang ada. Selain jin dan manusia, tiada makhluk yang diberi kemungkinan memiliki dan mewarisi; tidak ada yang memanggil yang lain dari jenisnya sendiri sebagai hambanya. Kecuali jin dan manusia, di dunia ini tidak ada yang mengaku memiliki hidup, kekuasaaan, dan kehendak – sifat-sifat Maha hidup, Mahakuasa, Maha berkehendak hanya milik Allah.
            Kemungkinan adanya pengakuan ini merupakan makna dari “Allah telah menciptakan manusia dalam citra (shurah)-Nya sendiri.” Manifestasinya sifat-sifat Ilahi pada manusia ini, yang kerap disalahgunakan olehnya, adalah juga hubungan dan kaitan antara dia dan Tuhanya, dan suatu cara baginya untuk mengenal Tuhannya.
            Karena manusia cenderung keras kepala dan pongah, maka menghamba (beribadah) harus ditandai kerendahan diri sebelum ia bisa menunjukan pengetahuan Tuhan. Karena, seluruh pengetahuan yang bisa dicapai umat manusia dengan akal yang dianugrahkan kepadanya tidak ada artinya di hadapan keagungan Allah yang tak terbatas. Kita harus menundukkan kepala kita dalam menyadari kenyataaan ini. Hanya dengan rendah hati sepenuhnya kita akan mampu mengeatahui tujuan penciptaan kita. Tapi juga benar bahwa siapa yang tidak mengenal Tuhannya, ia tdak mampu memfanakan dirinya ditahap pertama!

Bagaimana Mengenal Allah

            Sang Pencipta hanya bisa dikenal melalui makhluk-Nya. Segala sesuatu merupakan bukti keberadaan-Nya. Tanpa mengenal hakikat atas hakikat, tidaklah mungkin untuk mengenal Allah.
            Ibn Sina, seorang tokoh semasa dengan Ibn Arabi, menayatakan bahwa Allah bisa ditemukan melalui pemikiran rasional yang terlepas dari pengetahuan atas makhluk-Nya. Ibn Arabi mengatakan bahwa manifestasi Allah terjadi pada makhluk-Nya dan tidaklah mungkin mengenal-Nya selain darinya.
            Penciptaan ini terjadi terus menerus dalam alam semesta. Setiap peristiwa penciptaan berbeda, tidak diulangi.Prosesi tak terbatas atas keunikan itu merupakan bukti atas kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Setiap tindakan baru adalah sekeping cermin tempat sifat-sifat Tuhan mengejawantah, dan pada setiap keeping darinya ada pengetahuan baru dan khusus. Inilah satu-satunya sumber terhadap pengetahuan Ilahi.
            Jika kita melihat langit, kita melihat tanda manifestasi sifat Allah “Maha Mencakup-Mahaluas”. Samudra yang tampak tak terukur mengesankan sifat Ilahi “Maha Meliputi”. Jika kita merenungkan kehidupan kita sendiri, dan semua yang hidup di sekitar kita, kita akan mengerti makna “Allah Sang Mahatau”. Pada seorang dokter kita akan melihat tanda-tanda “Allah Sang Maha Penyembuh”. Dan jika kita memperhatikan umat manusia, kita akan melihat bukti “Allah Sang Mahatunggal.”
            Damba manusia untuk mengenal Tuhan bisa menarik kita untuk melihat manifetasi-manifetasi-Nya dalam setiap sesuatu disekitar dan di dalam diri kita. Maka seluruh kehidupan dan alam semesta menjadi sebuah buku yang mengajarkan tentang Tuhan, karena segala sesuatu yang diciptakan taklain adalah manifestasi dari nama-nama indah Tuhan Yang Satu yang menciptakannya.
            Kita juga akan insaf akan hal-hal yang saling berlawanan satu sama lain, yang saling bertentangan satu sama lain; manifestasi sifat Ilahi “Sang Maha Menunjukkan” versus manifestasi “Sang Maha Merintangi”.”Sang Mahabaik” versus “Sang Maha Menghalangi”.  Pada beberapa momen penciptaan, salah satu sifat ini lebih unggul; dan pada momen yang lain, sifat lainnya yang unggul. Manakala “Sang Maha Menunjukkan” dan “Sang Mahabaik” lebih unggul kualitasnya dan kuantitasnya, keadamaian dan kemakmuran menjadi dominan. Ketika keadaan itu menurun, kesulitan dan rintangan mengejawantah, dan kepedihan dan kemiskinan menjadi dominan. Hal ini bisa terjadi di pada diri manusia ataupun pada seluruh dunia.
            Dalam cara ini, suatu ciptaan dimana kebaikan mengejawantah berada secara berlawanan dengan suatu ciptaan dimana keburukan mengejawantah. Itulah mengapa orang yang berjalan menuju surga tidak sama dengan orang yang berjalan menuju neraka, dan sebaliknya. Ada berbagai binatang yang sifat-sifat baiknya lebih unggul dan ada pula binatang yang sifat-sifatnya berbahaya mengejawantah. Sifat-sifat kedua jenis binatang ini ada pada setiap manusia. Mereka yang dikuasai watak binatang liar jauh lebih buruk dibandingkan binatang terburuk itu sendiri; sementara mereka yang didominasi kebaikan diangkat ke tingkatan malaikat. Maulana Jalal al-Din Rumi bertutur, “Wahai manusia, kamu bersekutu dengan binatang dalam dirimu, dan kamu bersekutu dengan malaikat dalam dirimu. Tinggalkan watak binatangmu dibelakang agar kamu bisa naik melampaui malaikat!”
            Jadi, kita harus mengetahui manifestasi sifat-sifat Ilahi dalam penciptaan terus menerus disekitar kita, dan menemukan padanannya dalam watak kita sendiri- karena Allah telah mengajarkan seluruh nama-Nya kepada kita. Jika melakukan hal ini, kita akan mengenal Tuhan kita dalam kualitas-kualitas-Nya yang tak terbatas. Tapi, pada saat yang sama, kala kita melihat keluasan dan kesempurnaan Sang Pencipta, kita akan melihat kepingan dan kekurangan kualitas-kualitas yang mengejawantah dalam diri kita. Kita pun akan menyadari kelemahan kita dan kebutuhan total kita kepada-Nya. Itulah awal perwujudan manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan. Dan itulah tujuan penciptaan.

Dia yang Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya

            Kebenaran sifat-sifat, nama-nama indah Allah, tidaklah terbatas dan mengejawantah dalam beragam cara pada berbagai waktu. Bukti kebenaran itu berada dalam perwujudan kesatuan seluruh ciptaan. Namun, keragaman merupakan bagian dari yang satu. Kesatuan mengejawantah dalam keanekaragaman. Dengan seluruh perbedaan-perbedaannya, dan dalam manifestasi yang tak terbatas, bagian-bagian yang saling terkait dan menuju keseluruhan. Siapapun yang bisa mengetahui hal ini dalam dirinya, ia mengenal Tuhannya.
            Allah menciptakan manusia sempurna dalam citra-Nya sendiri- dalam citra sifat-sifat-Nya.
            Banyak sufi percaya bahwa untuk bisa mengenal kesatuan diri ini, kita harus melenyapkan manifestasi banyak “aku” dalam diri kita-sebetulnya, kita harus menolak keberadaannya. Melalui ibadah, puasa, perenungan , dan pengendalian hasrat-hasrat jasmaniah, manusia berusaha menundukan kehendak-kehendaknya pada kehendah Allah, dan memurnikan tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaannya. Semua disiplin dan usaha inni dibangun diatas asumsi bahwa beberapa “aku” yang sedang berusaha dilenyapkan ini betul-betul ada. Padahal, tidak ada “aku” selain Allah. Tidak ada apapun kecuali Dia. Bagaimana seseorang bisa mengatur untuk melenyapkan sesuatu yang tidak pernah ada? Satu-satunya cara mengenal Tuhanmu adalah dengan mengenal keberadaanmu.
            Manusia tak lain adalah cermin yang memantulkan sifat-sifat Allah. Dialah Yang Satu yang melihat diri-Nya. Baik para nabi, malaikat, maujpun manusia sempurna tidak bisa mengenal-Nya. Ketika kita mengetahui ketidakadaan kita dan totalitas Allah, kita mencapai cakupan seutuhnya dari pengetahuan kita Atas-Nya.

Sekian, dan terimakasih... semoga bermanfaat... ^.^
http://hanysundara88.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar